PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Tingkat SD merupakan saat-saat awal peserta didik mengenal matematika
secara formal. Untuk itu, kemampuan berpikir peserta didik perlu dikembangkan mulai dari awal mereka mengenal
matematika sampai ke jenjang selanjutnya, sehingga peserta didik mampu bernalar, menganalisis
fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan
pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan
memecahkan masalah dalam
matematika. Dengan kemampuan tersebut, maka peserta didik akan mampu memahami konsep
dalam pembelajaran matematika, sehingga apapun bentuk soal yang diberikan peserta
didik akan mampu menyelesaikannya dengan benar.
Peserta
didik akan mendapatkan kemampuan-kemampuan
itu melalui proses pendidikan di sekolah, khususnya melalui proses pembelajaran
yang bermakna. Untuk itu,
proses pembelajaran matematika di sekolah perlu diarahkan untuk membantu peserta
didik menggunakan daya intelektualnya dalam proses pembelajaran. Permendiknas
No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006, tentang standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menegaskan bahwa tujuan
pembelajaran matematika adalah.
1) Memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara
luwes, akurat, efisien,
dan tepat, dalam pemecahan masalah; 2)
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4)
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemecahan
masalah merupakan salah satu fokus
dalam pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika,
menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya, sedangkan untuk memahami
suatu permasalahan perlu adanya pemahaman peserta didik terhadap konsep
matematika.
Namun, berdasarkan data
diperoleh bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal
yang menuntut kemampuan untuk menelaah, memberi alasan, dan
mengkomunikasikannya secara efektif, serta memecahkan dan menginterpretasikan
permasalahan dalam berbagai situasi masih sangat rendah. Berdasarkan data
tentang kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah dibandingkan
negara-negara lain adalah sebagai berikut: (1) Hasil survei Trends in International Mathematics and
Sciences Study (TIMSS) Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang Matematika
dari 45 negara yang disurvei (Rivai dan Murni; 2009: 49); (2) Mutu akademik
antar bangsa melalui Programme for
International Student Assessment (PISA) di bidang Matematika pada tahun
2003 menempatkan peserta didik Indonesia pada peringkat ke-39 dari 40 negara
sampel, yaitu hanya satu peringkat lebih tinggi dari Tunisia, hasil PISA tahun
2006 Indonesia ranking ke-38 dari 41 negara, hasil PISA terbaru 2009 semakin
melengkapi rendahnya kemampuan peserta didik-peserta didik Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu ranking ke-61 dari 65 negara
(Kunandar; 2007: 2); (3) Pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan 64 dari 65
Negara yang mengikuti tes (Kompas, 2013).
Berdasarkan data yang telah dipaparkan, kecakapan
matematika yang diharapkan dunia melalui tes PISA itu berbeda dengan yang
diajarkan di sekolah dan yang diujikan dalam ujian nasional. Ini tidak berarti
matematika di Indonesia lebih mudah daripada di negara lain yang meraih ranking
lebih tinggi dalam PISA. Namun, sekolah Indonesia terlalu fokus mengajarkan
kecakapan yang sudah kedaluwarsa, seperti menghafal dan berhitung ruwet. Hal ini
berbeda dengan pembelajaran matematika Negara-negara lain, khususnya di Jepang,
yang merupakan salah satu Negara yang berada pada peringkat 5 besar tertinggi
dalam bidang matematika dan sains. Pembelajaran matematika, terutama di SD dan
SMP di Jepang sangat menarik karena guru-guru selalu menyiapkan bahan belajar
yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting, jepitan pakaian, atau bahan
lain yg gampang sekali ditemukan. Alat peraga digunakan untuk membantu
membentuk pola pikir anak. Misalnya seorang guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan
berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan
menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.
Selanjutnya di Jepang adanya kurikulum matematika yang menarik dan menantang,
sehingga pembelajaran matematika menjadi bermakna bagi peserta didik.
Tujuan
kurikuler dalam pendidikan matematika yaitu untuk memberikan para peserta didik
dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan
mereka untuk berpikir secara logis dan kreatif. Dengan demikian,
agar kualitas pendidikan tidak berada pada tingkat rendah, khususnya matematika
dibandingkan negara lainnya, maka perlu kiranya Indonesia bercermin kepada
negara-negara yang memiliki kualitas pendidian yang tinggi. Salah satunya
adalah di Jepang. Dengan demikian, penulis akan memaparkan tentang bagaimana
pendidikan matematika di Jepang jika dilihat dari aspek kurikulumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimana
pendidikan matematika di Jepang?
1.2.2
Bagaimana
kurikulum matematika di Jepang?
1.2.3
Bagaimana
perbandingan pendidikan matematika di Jepang dengan Indonesia?
1.2.4
Apa
solusi yang tepat untuk pembelajaran matematika di Indonesia?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah
untuk:
1.3.1
Memaparkan pendidikan matematika di Jepang
1.3.2
Memaparkan kurikulum matematika di Jepang
1.3.3
Menjelaskan perbandingan pendidikan matematika di
Jepang dengan Indonesia
1.3.4
Memaparkan solusi yang tepat untuk pembelajaran
matematika di Jepang
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran
merupakan suatu proses aktif yang dilakukan oleh guru sebagai usaha untuk
mengembangkan segala potensi yang terdapat dalam diri peserta didik. Menurut
Fontana (dalam Suherman dkk, 2003:7), “Pembelajaran merupakan upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang
secara optimal”. Dari pengertian ini dapat kita ketahui bahwa pembelajaran itu
merupakan suatu proses sistematik yang sengaja dibuat oleh peneliti guna
menciptakan suatu kondisi yang baik bagi peserta didik dalam proses
pembelajaran.
Peserta
didik sebagai salah satu unsur dalam proses pembelajaran merupakan titik
sentral yang perlu untuk diperhatikan. Karena dari tingkat perkembangan
kemampuan peserta didik ini dapat diketahui berhasil atau tidaknya suatu proses
pembelajaran oleh guru yang hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.
Berhubungan dengan hal di atas Piaget (dalam Dimyati & Mudijono, 2002: 14),
menjelaskan bahwa.
Pembelajaan
terdiri dari empat langkah, yaitu: menentukan topik yang dapat dipelajari oleh
anak sendiri, memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut,
mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang
menunjang proses pemecahan masalah dan menilai pelaksanaan tiap kegiatan,
memperhatikan keberhasilan dan melakukan revisi.
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan suatu
proses pembelajaran yang baik, guru dapat menyusun suatu skenario pembelajaran
yang harus disesuaikan dengan materi yang diberikan, situasi dan kondisi kelas
yang dihadapi berpedoman kepada langkah-langkah yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Matematika merupakan salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang sangat
penting untuk dikembangkan. Matematika memiliki pengertian yang cukup beragam,
sesuai dengan sudut pandang seseorang dalam memahaminya. Ada yang mengatakan
bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali, dan
bagi, tetapi ada pula yang mengaitkan topik-topik seperti aljabar, geometri,
dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala
sesuatu yang berkaitan dengan cara berfikir logis. Cockroft (dalam Mulyono,
2003: 253), mengemukakan sebagai berikut.
Matematika
perlu diajarkan kepada peserta didik karena a) selalu digunakan dalam segala
segi kehidupan; b) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang
sesuai; c) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; d) dapat
digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; e) meningkatkan
kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan f)
memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Jadi, dapat dilihat bahwa berbagai alasan perlunya sekolah mengajarkan
matematika kepada peserta didik. Matematika pada hakikatnya merupakan suatu
pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Menurut
akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian
secara empiris, melainkan pada proses penalaran deduktif. Kline (dalam Mulyono,
2003: 252), menjelaskan bahwa “Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri
utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan
cara bernalar induktif.”
Berhubungan dengan pembelajaran matematika, Nikson (dalam Muliyardi,
2006: 11), mengemukakan bahwa “Pembelajaran matematika adalah suatu upaya
membantu peserta didik untuk menkonstruksi (membangun) konsep-konsep dan
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali”. Seorang peserta
didik tertarik untuk mempelajari sesuatu jika dia dapat melihat bahwa sesuatu
yang dipelajari itu dapat dipakai memenuhi kebutuhannya, dengan perkataan lain
berguna baginya. Untuk itu pembelajaran matematika harus bermakna, artinya peserta
didik melihat bahwa matematika penting untuk dirinya kelak karena dapat
membantunya memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Jadi, pembelajaran
matematika haruslah bermakna bagi peserta didik. Dengan demikian sebaiknya
soal-soal matematika itu dimulai dari masalah-masalah yang realistik bagi peserta
didik, artinya dapat dibayangkan oleh peserta didik atau berkaitan dengan dunia
nyata.
2.2 Kurikulum
Kurikulum,
umumnya, diartikan sebagai seperangkat mata pelajaran dan atau materinya yang
akan dipelajari, atau yang akan diajarkan guru kepada peserta didik. Bagi
kebanyakan peserta didik, kurikulum identik dengan tugas pelajaran, latihan
atau isi buku pelajaran. Para orang tua cenderung memaknai kurikulum sebagai
latihan pelajaran sekolah atau pekerjaan rumah. Bagi guru, kurikulum seringkali
diasosiasikan dengan petunjuk atau pedoman tentang konten kurikulum (materi
pelajaran) yang akan diajarkan kepada peserta didik di samping strategi, metode
atau teknik mengajar serta buku sumber materi ajar. Kurikulum juga diartikan
berbeda oleh penulis buku pendidikan. Pengertian kurikulum oleh seorang penulis
berbeda dengan penulis lain. Bahkan,
seorang penulis buku kurikulum memakai istilah kurikulum untuk pengertian yang
berbeda (Brady & Kennedy, 2007: 4).
Sebagai
suatu bidang studi yang dinamik (Orstein & Hunkins, 2013:1), perbedaan
tersebut wajar, karena konsep kurikulum bisa berubah dan berkembang mengikuti
perubahan zaman dan tuntutan kemajuan serta perbedaan persepsi atau pandangan
filosofis beberapa penulis pendidikan. Beberapa variasi definisi kurikulum,
antara lain, sebagai berikut.
Pertama,
definisi kurikulum tradisional, berdasarkan filsafat perenialisme, mengartikan
kurikulum sebagai an organized body of knowlege
(Ornstein & Hunkins, 2013: 34) yang tertuang dalam mata pelajaran. Adalah
tugas sekolah untuk mentransfer mata pelajaran itu kepada peserta didik. Kemudian,
definisi ini berkembang dari rencana untuk mengajarkan mata pelajaran menjadi
pengalaman belajar teerencana (planned
learning experience).
Kedua,
pada abad ke-XX konsep kurikulum tradisional mendapat tantangan. Volume ilmu
pengetahuan berkembang pesat yang memunculkan peledakan pengetahuan (explotion of knowldege) sehingga tidak
mungkin semua pengetahuan bisa diajarkan guru kepada peserta didik. Selain itu,
ledakan pengetahuan mengakibatkan tidak semua pengetahuan dapat ditulis dalam
buku teks; banyak pengetahuan yang bisa dipelajari peserta didik dari media
cetak dan elektronik, dengan fasilitasi atau tanpa guru. Akibatnya, sangat
sukar menyeleksi pengetahuan ”esensial” untuk masuk buku teks atau buku paket.
Kenyataan ini mengharuskan pendidik merubah orientasi pembelajaran dari
mengajar menjadi membelajarkan peserta didik dengan menyesuaikan pembelajaran
dengan tingkat kematangan peserta didik.
Ketiga,
perbedaan konsep kurikulum terkait perbedaan aspirasi stake holders pendidikan (Brady & Kennedy, 2007: 4-5),
Kurikulum, misalnya, dimaknai berbeda oleh penulis akademik dibandingkan
pandangan pemerintah suatu negara yang umumnya menginginkan kurikulum sebagai
instrumen perkembangan sosial dan ekonomi peserta didik. Aspirasi terakhir
mirip dengan pandangan pebisnis yang memandang kurikulum sebagai sarana
pembekalan keterampilan peserta didik untuk memiliki pngetahauan, keterampilan
atau komptensi untuk memasuki dunia kerja produktif kelak (Brady & Kennedy,
2007: 4).
Keempat, varisasi definisi kurikulum bisa
bersumber dari perbedaan aliran filsafat pendidikan pendidik dan penyusun
kurikulum. Untuk mengemukakan semua definisi kurikulum yang berbeda-beda itu
adalah suatu hal yang mustahil. Dalam literatur sangat banyak ditemukan
definisi masing-masing penulis kurikulum. Yang dapat kita lakukan adalah
mengemukakan beberapa pengertian atau definisi utama kurikulum seperti yang
terdapat dalam literatur.
Sebagai
Rencana Pembelajaran. Definisi yang paling populer ialah kurikulum sebagai
rancangan (plan) untuk mencapai tujuan pendidikan (Ornstein & Hunkins, 2013:8).
Rancangan itu, menurut Beauchamp (1972:19), adalah pedoman perencanaan intruksional. Definisi yang
hampir sama diajukan Taba (1962:11) bahwa kurikulum sebagai “…a plan for learning”; kurikulum
sebagai rencana pembelajaran. Tanner dan Tanner (1975:45) menggabungkan kedua
definisi tersebut sebagai pengalaman belajar terencana dan terprogram serta
hasil belajar yang terbentuk dari hasil rekonstruksi peserta didik atas
pengetahuan dan pengalaman di bawah pengawasan sekolah untuk mencapai
kompetensi personal dan sosial peserta didik.
Tanner dan Tanner kemudian merevisi definisi mereka itu dengan
memasukkan peran peserta didik sebagai subjek pendidikan yang mampu
mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman (Tanner&Tanner, 1980:43).
Kurikulum
bukan hanya memuat rencana tertulis (dokumen) saja, tetapi yang penting adalah
bahwa kurikulum diaartikan sebagai pengalaman belajar peserta didik sebagai
hasil implementasi rencana tertulis itu oleh guru dalam proses pembelajaran di
sekolah. Artinya, sebagai hasil pelaksanaan kurikulum di sekolah, peserta didik
berinteraksi dengan konten kurikulum yang menghasilkan pengalaman peserta didik
yang selanjutnya dapat ditransformasi atau dikonstruksi peserta didik menjadi
pengalaman dan/atau kompetensi. Secara implisit, peserta didik yang memiliki
pengalaman atau kompetensi, berarti dia mempunyai keterampilan aplikatif dari
konten atau pengetahuan yang telah dipelajarainya, bukan hanya sekedar
mengetahui konten atau materi itu saja.
Selain
itu, kurikulum sebagai rencana, seharusnya juga mencakup komponen instruksional
lainnya seperti ruang lingkup (scope) pelajaran, urutan (sequence) materi dan
kegiatan pembelajaran, strategi, metode dan teknik-teknik membelajarkan peserta
didik serta hal-hal apa saja yang dapat direncanakan terlebih dahulu agar
pembelajaran berjalan dengan baik.
Macdonald (1965:3) merinci komponen kurikulum sebagai rencana kerja untuk
menuntun proses pembelajaran. Rencana tersebut dapat berupa dokumen tertulis,
atau tidak tertulis yang sudah ada di kepala guru. Hal ini terbukti oleh hasil
observasi P.H. Taylor (1970) yang menyimpulkan banyak guru yang merencanakan
pengajaran dengan sedikit catatan, tetapi banyak sekali pengajaran yang
dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang dikembangkan menurut rencana yang
tidak ter¬tulis (Schubert,1986: 27).
Masalah
lain definisi kurikulum sebagai kegiatan terencana adalah kurikulum dapat juga
berarti rencana pelajaran unit. Rencana pelajaran unit, pada hakekatnya, adalah
instrumen atau bagian kecil suatu kurikulum. Selain itu, pengertian kurikulum
yang sempit ini bermakna bahwa proses aktualisasi rencana itu berada di luar
kurikulum.
Kesimpulan
ialah bahwa kurikulum dapat berarti rancangan tertulis sebagai acuan
pelaksanaan pembelajaran. Pengertian yang penting ialah bahwa kedua jenis
kurikulum, baik yang tertulis maupun implementasinya di sekolah, harus dianggap
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian, pada tingat
evaluasi kurikulum kita tidak boleh hanya mengevaluasi salah satu saja dari
kurikulum dan implementsinya dalam pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pembelajaran, kita perlu evaluasi apakah kedua materi dan kegiatan belajar ada
pada setiap proses pembelajaran.
Berdasarkan
hal itu, kurikulum sebagai mata pelajaran tidak lengkap tanpa dilengkapi
kegiatan belajar peserta didik dalam proses pembelajaran. Alasannya ialah tanpa
kegiatan belajar, suatu kurikulum hanya lebih mengutamakan keberhasilan
peliputan (coverage) materi ajar dari pada menghasilkan pengalaman atau
kompetensi tertentu. Padahal, untuk menghindarkan kurikulum menjadi
disfungsional (curriculum dysfunctional),
kedua komponen materi dan keguatan belajar peserta didik harus ada pada proses
pembelajaran (lihat Zais, 1976: 353).
Hal ini penting mengingat pembelajaran tanpa keterlibatan aktif peserta
didik mempelajari konten atau materi, materi itu hanya sekedar informasi bagi peserta
didik, belum menjadi pengetahuan atau pengalaman apalagi kompetensi siwa.
Selain
sekedar peliputan mata pelajaran atau mata kuliah beserta kontennya, hal lain
yang menjadikan kurikulum fungsioanal (efektif), antara lain, adalah metode
atau susunan materi dan kegiatan belajar (seperti urutan, tingkat kesukaran
(grading), suasana belajar, strategi dan metode pembelajaran, serta media) yang
merupakan faktor-faktor penting yang dapat memfasilitasi peserta didik
menguasai kompetensi tertentu. Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh pada
keberhasilan pembelajaran yang seringkali terabaikan ialah pengetahuan awal
(entry behavior), keterampilan belajar (learning skills), motivasi atau sikap
pembelajar terhadap mata pelajaran tertentu, iklim belajar, tingkah laku guru
dan lingkungan pendidikan dan pembelajaran, intensitas interaksi peserta didik
dan materi ajar, guru, lingkungan belajar,
iklim akdemik, di samping iklim sekolah, kegiatan ko-kurikuler dan
ekstra kurikuler. Jadi, pandangan yang mendefinisikan kurikulum sebagai mata
pelajaran atau kontennya saja sangat mempermudah masalah kurikulum yang begitu
kompleks. Artinya, kurikulum sekolah mencakup hal-hal yang jauh lebih luas dari
peliputan atau pengajaran seperangkat mata pelajaran saja sehingga perlu
dimasukkan banyak faktor-faktor lain di luar mata pelajaran dan konten ke dalam
pengertian kurikulum, kalau kita ingin kurikulum sebagai sarana untuk
menjadikan perserta didik menjadi orang yang diinginkan (what can men become).
Sebagai
Pengalaman Belajar. Semenjak akhir tahun 1930-an telah ada yang mengartikan
kurikulum sebagai semua pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik sesuai
dengan yang direncanakan dan dilaksanakan sekolah (Foshay,1969:275). Defenisi
ini bertahan lama sekali. Sebelum Foshay (1969), Caswell dan Campbell (1935:66)
memandang kurikulum bukan sebagai sekelompok mata pelajaran yang harus
diajarkan kepada, atau dipelajari oleh, peserta didik tetapi sebagai pengalaman
yang diperoleh anak-anak di bawah arahan guru. Malahan Saylor dan Alexander
mengartikan kurikulum lebih luas dari pengalaman yang diperoleh peserta didik
di sekolah. Kedua penulis ini mendefenisikan kurukulum sebagai upaya bersama sekolah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, baik melalui pembelajaran di kelas dan lingkungan sekolah maupun di
luar sekolah. Definisi yang sejalan degan itu dikemukakan Mark dan
Jamisson yang mengatikan kurikulum
sebagai seperangkat pengalaman belajar yang dimiliki peserta didik dalam suatu “settting” pembelajaran.
Definisi ini menyatakan bahwa kurikulum
diartikan secara lebih luas dari definisi sebelumnya yang membatasi kurikulum
sebagai rencana, atau sekadar untuk mengajarkan mata pelajaran dan materi
ajarnya. Dalam kurikulum sebagai pengalaman sudah mencakup pengertian bahwa
kurikulum bukan hanya dokumen rencana untuk membelajarkan peserta didik tetapi termasuk
hasil implementasi rencana itu dalam kelas, di lingkungan sekolah dan di luar
sekolah, berupa pengalaman belajar peserta
didik, asalkan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Karena peserta didik sudah
memperoleh pengalaman, peserta didik kini dapat melakukan hal-hal baru sperti
membaca, memainkan suatu instrumen, bersosialisasi dan bersikap positif dan
sebagainya.
Kesimpulan
ialah kurikulum dan pengajaran merupakan satu kesatuan yang saling
berterkaitan, karena kurikulum memberikan arah kepada pembelajaran walau kurikulum
tidak memuat rencana pembelajaran. Tetapi dapat dirangkum bahwa kurikulum
mengacu pada program, rencana, konten dan pengalaman belajar; sedangkan
pembelajaran merujuk pada metodologi, kegiatan pengajaran, implementasi dan
presentasi dari apa yang direncanakan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada
dikotomi antara keduanya. Kebanyakan program studi ini di perguruan tinggi di
Amerika Serikat menetralisir kontroversi kedua istilah itu dengan menamakan
mata kuliah ini “Curriculuem and Instruction.” Usaha untuk menetralisir kedua
istilah itu juga diajukan Zais (1976:12) yang menyatakan bahwa kedua konsep
tersebut berada dalam satu kontinium:
pada ujung kiri kontinium ada kurikuluim yang bersifat akhir-general
(ultimate-general) dan pada ujung lainnya terdapat pembelajaran yang bersifat
langsung-spesifik (immediate-specific). Hal yang mirip juga diusulkan Parkey
et.al. (2010:2) bahwa kurikulum mengacu pada the what of education sedangkan pembelajaran pada the the how.
Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman
dalam melaksanakan pendidiakan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup bangsa,
ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak di tentukan oleh
kurikulum yang di gunakan oleh bangsa itu tersebut sekarang. Nilai sosial,
kebutuhan, dan tuntutan masyarakat cenderung dan selalu mengalami perubahan
antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum
harus dapat mengatasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara-cara
yang di anggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut.
Kurikulum
dapat merencanakan hasil pendidikan atau pengajaran yang diharapkan karena
dapat menunjukkan apa yang harus dilakukan dan kegiatan apa yang harus dialami
oleh peserta didik. Hasil pendidikan kadang-kadang tidak dapat diketahui dengan
segera atau setelah anak didik menyelesaikan program pendidikan. Pembaharuan
kurikulum harus segera dilakukan sebab tidak ada kurikulum yang sesuai sepanjang masa. Kurikulum harus dapat
menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa cenderung berubah.
Perubahan
Kurikulum dapat bersifat keseluruhan yang menyangkut semua komponen. Perubahan
kurikulum menyangkut berbagai faktor, baik orang-orang yang terlibat dalam
dalam pendidikan dan faktor penunjang dalam pelaksanaan pendidikan sebagai
konsekuensi dan perubahan kurikulum juga akan mengakibatkan perubahan dalam operasionalisasi
kurikulum tersebut baik orang yang terlibat dalam pendidikan maupun
faktor-faktor penunjang dalam melaksanakan kurikulum.
Perubahan
kurikulum biasanya di mulai dari perubahan konseptual dan fundamental yang
diikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila
hanya terjadi pada komponen tertentu saja, misalnya pada tujuan saja, isi saja,
atau sistem penilaian saja. Perubahan kurikulum bersifat menyuluruh bila mencakup
perubahan semua komponen
ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
Pendidikan
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan merupakan
sesuatu yang mutlak didapatkan oleh setiap individu. Karena pentingnya
pendidikan maka kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas
pendidikannya. Begitulah yang kita lihat saat ini tentang pendidikan di Negara
kita jika dibandingkan dengan Negara-negara maju. Ternyata antara kemajuan
suatu Negara dengan kualitas pendidikan berbanding lurus. Hal ini bisa kita
lihat di beberapa Negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan
lain sebagainya. Jika dilihat pada aspek pendidikannya, Negara Indonesia jauh
ketinggalan dari Negara-negara maju tersebut yang mempunyai kualitas pendidikan
yang sangat bagus. Ternyata salah satu factor yang mempengaruhi bagusnya
kualitas pendidikan di Negara tersebut adalah kurikulumnya. Kurikulum di Jepang
sangat menarik dan menantang bagi peserta didik. Di dalam kurikulum di Jepang,
yang terpenting adalah bukan banyaknya materi pelajaran, namun yang terpenting
adalah pendekatan cara mendidiknya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan
kurikulum di Indonesia yang padat akan materi, sehingga terkadang peserta didik
menjadi kewalahan dalam mempelajarinya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Ramli
(2009), bahwa permasalahan kurikulum bukan terletak pada perubahan isi setiap
mata pelajaran, atau bukan pada perubahan metode pengajaran di kelas, tetapi
harus memuat system pendidikan di kelas.
Jika
ada seorang guru berhasil mengembangkan materi pelajarannya, mengembangkan
metode baru dan selesai dengan cepat menyusun silabus pembelajaran, itu
bukanlah sebuah kemajuan bagi pendidikan di sekolah. Yang terpenting bagi
seorang guru adalah menjadikan keberhasilan itu bukan milik pribadi, tetapi
miliki semua guru dan aparat sekolah.
Kualitas pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat
berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu yang paling berperan dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kurikulum pendidikan di negara
tersebut. Tak hanya di Indonesia yang gemar ganti kurikulum pendidikan, negara
maju seperti Jepang pun kerap ganti kurikulum. Perubahan tersebut mau tidak mau
membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di
Jepang.
Menurut Ahmad Sentosa dalam artikel
berjudul Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang, Ia menjelaskan
untuk level pendidikan taman kanak-kanak (TK), di Jepang lebih cenderung
merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari. Karena itu
pendidikan di level TK bukanlah pengajaran, tatapi lebih tepat disebut
pendidikan. Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang mana pada level
taman kanak-kanak anak sudah dituntut untuk pandai membaca, karena sebagian
besar anak yang lulus masuk SD haruslah mempunyai kemampuan untuk membaca.
Sedangkan
untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang
hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Hanya yang membedakan adalah pada
mata pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan
utama diajarkan mata pelajaran ini adalah untuk mengenalkan dan membiasakan
anak-anak pada pola hidup mandiri. Daripada mengajarkan mata pelajaran IPA dan
IPS, Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada
anak-anak yang baru lulus dari tingkat TK yang lebih memfokuskan kegiatan
bermain daripada belajar di dalam kelas. Hal ini sangat berbeda sekali dengan
fenomena yang ada di Indonesia. Materi yang diajarkan untuk tingkat rendah
levelnya terlalu tinggi untuk kelas rendah. Hal ini dapat dilihat dari LKS yang
diberikan kepada peserta didik kelas rendah yang memaparkan banyak materi,
sehingga peserta didik kurang paham dengan materi tersebut. Fenomena ini
terjadi ketika penulis melihat LKS yang diberikan kepada anak kelas 1 yang
padat akan materi dan tidak dihubungkan dengan kehidupan nyata peserta didik.
Selanjutnya
pembelajaran utama seperti bahasa Jepang dan berhitung mempunyai porsi yang
lebih dibanding pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak
secara khusus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas
sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Dan pendidikan moral
sudah termasuk pada pendidikan agama (Kristen, Budha, Shinto). Selain murid
disibukkan dengan pendidikan akademik, pendidikan bersifat estetik berupa musik
dan menggambar juga diajarkan dalam porsi besar di kelas 1 dan 2.
Untuk
pendidikan SMP, kurikulum menitik beratkan pada pendidikan bahasa Jepang,
matematika, IPA dan IPS. Sedangkan pendidikan bahasa asing seperti Inggris dan
Jerman tidak diwajibkan dan hanya bersifat pilhan bagi murid. Pelajaran bahasa
Inggris baru dijadikan pelajaran wajib di level SMP pada kurikulum 2002. Adanya
mata pelajaran pilihan seperti bahasa Jepang, IPS, matematika, IPA, musik, art,
pendidikan jasmani, keterampilan, dan bahasa asing, merupakan pembeda khas
antara kurikulum pendidikan SMP di Jepang dan Indonesia. Selain pendidikan
utama di Jepang juga dilengkapi dengan pendidikan ekstrakurikuler seperti di
Indonesia.
Dibandingkan
kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering berubah. Pada
tingkat ini sudah diadakan sistem penjurusan seperti di Indonesia. Sifat khas
kurikulum SMA adalah kompleksnya pelajaran yang diajarkan. Contohnya pelajaran
bahasa Jepang yang mulai dikelompokkan menjadi literatur klasik dan modern.
Penjurusan dilakukan di kelas 3, jurusan yang ada meliputi IPA dan
budaya/sosial. Tetapi seiring berjalannya waktu penjurusan mengalami
perkembangan karena banyaknya lulusan SMA yang memilih akademi yang terkait
dengan teknik, pertanian, perikanan, kesejahteraan masyarakat, dan lain lain.
Bukan
hanya di Indonesia saja banyak pro dan kontra tentang kurikulum pendidikan, di
jepang pun kurikulum dilakukan secara top down, bukan bottom up. Karenanya
banyak yang tidak dapat diterapkan di sekolah secara optimal. Dan pada akhirnya
mendapat protes keras dari para guru. Di Jepang memperlakukan kegiatan belajar
di luar secara berkala, mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan lahan
pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk dan menggali
umbi-umbian, bahkan sampai belajar menanam padi di sawah. Di lain waktu, peserta
didik secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih
kemandirian, selain itu diselingi kegiatan wawancara dengan berbagai narasumber
kemudian menjadi bahan untuk presentasi di depan kelas.
Sepertinya
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya bergantung
pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang di dalamnya
seperti guru dan para pelajar pun harus ikut mendukung untuk mencapai visi dan
misi yang sama. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang hampir sama
dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang dikatakan sebelumnya
proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata bongkar pasang, tapi
dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya dapat
menciptakan banyak SDM berkualitas.
Selanjutnya
pendidikan matematika di Jepang memiliki kurikulum. Kerangka kurikulum Jepang
untuk bidang matematika tidak ditargetkan untuk menguasai luasnya cakupan,
tetapi justru menargetkan kedalaman proses pembelajarannya (Schmidt, McKnight,
& Raizen, 1996, dlm Darling-Hammond, 1997). Terkait dengan target ini, para
guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan arti atau makna dasarnya, dan
tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan belaka. Dengan demikian,
penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman daripada sekedar menerapkan
rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam memecahkan soal atau topic.
Tujuan
kurikuler dalam pendidikan matematika yaitu untuk memberikan para peserta didik
dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka
untuk berpikir secara logis dan kreatif. Waktu belajar mengajar matematika di
Jepang lebih sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia. Buku pelajaran
matematika di Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda dan hal-hal lain
yang memiliki relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam buku.
Kurikulum
matematika di Jepang tidak sepadat yang ada di Indonesia. Kurikulum matematika
dasar Jepang memiliki tujuan belajar lebih sedikit daripada Indonesia. Sehingga
sebagian besar peserta didik Jepang memiliki cukup waktu untuk menyerap dan
memahami setiap pelajaran. Mereka bahkan memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan kegiatan karya tangan dan kegiatan menyenangkan lainnya tapi
merangsang dalam belajar matematika. Peserta didik Jepang belajar untuk
menikmati matematika dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan pelajaran
mereka dalam situasi kehidupan nyata.
Pada kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat
sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi
fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu
memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk memberikan
pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang
disebut yutorikyouiku. Jumlah jam
pelajaran SD per tahun berkurang sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Indikator
pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pengukuran
internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan TIMMS,
sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi peserta
didik SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya
mengalami penurunan. Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga
menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan
ini adalah agar peserta didik dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan.
Dengan
hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk
melaksanakan kembali gakuryoku tesuto
(tes kemampuan akademik) tahun 2007, yang pernah dilaksanakan pada tahun 1960.
Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak
membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah
masyarakat. Kurikulum matematika di Jepang menargetkan empat sasaran dasar:
a) Memperdalam
pemahaman peserta didik mengenai integral
b) Memahami arti
persamaan (equations)
c) Memahami
fungsi hubungan (relationships)
d) Memperdalam
pemahaman peserta didik tentang ciri-ciri ruang (properties of space figures)
Tujuan
pembelajaran ini diterjemahkan ke dalam tiga topik utama yang diajarkan.
Terkait dengan target ini, para guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan
arti atau makna dasarnya, dan tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan
belaka. Dengan demikian, penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman
daripada sekedar menerapkan rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam
memecahkan soal atau topik.
Selanjutnya
pengajaran matematika di Jepang relatif berbeda. Kelas dimulai dengan pengantar
singkat, kemudian guru menyajikan satu soal yang cukup sulit dan tidak
mengajarkan peserta didik cara memecahkan soal tersebut. Para peserta didik
lalu mengerjakan sendiri soal tersebut, baik mandiri maupun berkelompok, sambil
diawasi oleh guru yang berkeliling untuk melihat berkembangan dan memberikan
saran-saran. Setelah sepuluh atau 15 menit, salah seorang peserta didik diminta
untuk mempresentasikan apa yang diperolehnya di depan kelas, dengan masukan
dari guru jika peserta didik tersebut mengalami hambatan. Matematika jepang
memberikan kebebasan pola pikir dalam menyelesaikan masalah kepada anak.
Kesalahan yang terjadi pada anak dibiarkan dan dijadikan proses alamiah dalam
menemukan pola pikir itu. Guru memberikan sebuah permasalahan untuk dipecahkan
anak sesuai dengan pola pikirnya.
Dalam
sebuah kelas di Jepang, anak-anak bisa jadi menghabiskan seluruh waktu
pembelajaran di kelas untuk mendemonstrasikan dan mendiskusikan beragam solusi
yang mereka identifikasi terhadap suatu persoalan. Dengan melihat pada suatu
persoalan dari berbagai perspektif, dan menilai proses berpikir dalam diri
mereka sendiri, serta mengoreksi miskonsepsi yang telah mereka buat, mereka
belajar berpikir secara lentur atau fleksibel. Bukannya belajar dengan
semata-mata menerapkan serangkaian aturan yang tidak sepenuhnya mereka pahami,
atau memecahkan sejumlah besar persoalan yang sama dengan rumus algoritma yang
sama, para peserta didik belajar untuk sampai pada pemahaman akan beragam
strategi untuk memecahkan persoalan. Tidak mengherankan bahwa akhirnya mereka
pun mampu menerapkan apa yang telah mereka pelajari tersebut dalam
situas-situasi baru yang mereka hadapi.
Pembelajaran
matematika, terutama di SD dan SMP di Jepang juga sangat menarik, guru-guru
selalu menyiapkan bahan belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas,
gunting, jepitan pakaian, atau bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Alat
peraga digunakan untuk membantu membentuk pola pikir anak. Misalnya seorang
guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan
berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan
menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.
Yang
menarik, guru sama sekali tidak menggurui dengan memberitahukan jawabannya
secara langsung, tetapi seakan-akan beliau tidak tahu, dan meminta peserta
didik untuk menjelaskan. Melalui cara ini, saya dapat menangkap bahwa anak-anak
Jepang sangat kaya ide. Pepatah `banyak jalan menuju Roma` berlaku di sini. Dan
Pak Guru sama sekali tidak pernah mengatakan `salah`, yang dia ucapkan malah
kalimat `naruhodo`, yang artinya `Oh, saya baru tahu! Kalimat ini menurut saya
membangkitkan suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang anak.Suatu pujian yang
bisa diartikan `kamu bisa, Nak !`. Ada 3 prinsip mengajar guru-guru di Jepang,
yaitu
a) Tanoshii jugyou (kelas harus
menyenangkan)
b) Wakaru ko (anak harus mengerti)
c) dekiru ko (anak harus bisa)
Melalui
model pembelajaran seperti itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di
Jepang diajari untuk menganalisa sebuah permasalahan, atau menemukan
pemecahannya, tanpa dijejali dengan rumus itu rumus ini. Mereka baru diajari
rumus /teori belakangan, setelah mereka paham asal-usul sebuah teori, dan bisa
menggunakannya di kehidupan sehari-hari. Mereka juga tidak diajari banyak hal,
sedikit saja yang penting mengerti.
Pendekatan
pembelajaran matematika di Jepang yang diamanatkan oleh standar isi adalah
pemecahan masalah, discovery, dan open ended. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah,
membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
Pembelajaran matematika di Jepang berdasarkan masalah kontekstual. Hal ini
dapat terlihat dari buku pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar asli
tempat, benda dan hal-hal lain yang memiliki relativitas dengan isi atau
pelajaran yang disajikan dalam buku. Buku pelajarannya berwarna-warni dan
memiliki banyak foto dan gambar.
Hal
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika di Indonesia yang bersifat
abstrak. Dengan demikian perlu kiranya kita mengadopsi system pembelajaran
matematika di Jepang. Berikut ini ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan
untuk pembelajaran matematika di Indonesia, yaitu:
a) Sebaiknya pemerintah membuat
kurikulum khusus untuk pelajaran matematika sebagaimana yang ada di Jepang
dengan Kurikulum matematika yang menarik dan menantang bagi peserta didik.
b) Pembelajaran matematika dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, agar pembelajaran menjadi bermakna
bagi peserta didik.
c) Guru harus mampu membangkitkan
minat dan motivasi peserta didik dalam pembelajaran matematika
d) Pembelajaran matematika haruslah
menggunakan pendekatan pemecahan masalah dan open ended, bukan dengan hafalan,
sehingga peserta didik mampu meningkatkan kemampuan literasinya dalam pemecahan
masalah matematika, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perbandingan Sistem Pendidikan di Jepang
dan Indonesia
No.
|
Unsur/komponen
yang dicermati
|
Sisdiknas di
Jepang
|
Sisdiknas di
Indonesia
|
1
|
Tujuan
pendidikan nasional
|
Untuk meningkatkan perkembangan
kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa
yang bebas
|
Mengembangkan kemampuan dan membentuk,
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia eriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas Pasaal 3)
|
2
|
Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan
|
1.Prinsip Legalisme
2.Prinsip Administrasi yang
Demokratis
3.Prinsip Netralitas
4.Prinsip Penyesuaian dan Penetapan
Kondisi Pendidikan
5.Prinsip Desentralisasi
|
1. Demokratis, berkeadilan, tidak
diskriminatif
2. Sebagai satu kesatuan yang
sistemik
3. Merupakan proses pembudayaan dan
pemberdayaaan peserta didik
4. Diselenggarakan dengan memberi
keteladanan
5. Diselenggarakan dengan budaya
“Calistung”
6. Diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat (UU Sisdiknas Pasal 4)
|
3
|
Acuan
Pendidikan
|
Negara maju
terutama AS, dengan penyesuaian terhadap budaya bangsa sendiri, sehingga
dihasilkan suatu bentuk yang unik yang mnjadi ciri khas Negara Jepang
|
Negara maju
terutama AS, tetapi “kurang penyesuaian” terhadap budaya bangsa sendiri.
Misalnya kita telah memiliki konsep Pendidikan Tamanpeserta didik, tetapi
lebih memilih konsepnya Bloom, dkk dari AS.
|
4
|
Reformasi
Pendidikan
|
Untuk
menyempurnakan tujuan pendidikan, pada tahun 2001 Kementerian Pendidikan
Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan yang disebut sebagai
Rainbase Plan
|
Telah
dilakukan reformasi pendidikan tetapi masih sepotong-sepotong, belum
terintegrasi
|
5
|
Wajib Belajar
|
1. Wajib belajar 9 tahun (SD dan
SMP)
2. Ciri-ciri:
-
Adanya
unsur paksaan agar peserta didik bersekolah
-
Diatur
dengan undang-undang tentang wajib belajar
-
Ada
sanksi bagi orang tua uang membiarkan anaknya tidak sekolah
-
Tolak
ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena
sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah
|
1. Wajib belajar 9 tahun (SD dan
SMP)
2. Ciri-ciri:
-
Tidak
bersifat paksaan melainkan persuasive
-
Tidak
ada sanksi hokum, sekedar sanksi moral
-
Tidak
diatur dalam undang-undang sendiri
-
Keberhasilan
diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan. Karena hanya berupa
imbauan, pemerintah dan masyarakat tampaknya “kurang serius” dalam menangani
pendidikan
|
6
|
Jenjang
Pendidikan
|
1.Preschool dan TK
2.SD
3.SMP
4.SMA
5.PT
|
1. PAUD dan TK
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. PT7
|
7
|
Mata Pelajaran
di SD
|
Hanya ada 4,
yaitu:
1. Huruf Jepang (menulis dan
membaca)
2. Matematika
3. Olahraga
4. Budi Pekerti
|
Banyak mata
pelajaran
|
8
|
Kewajiban anak Sekolah di SD atau
SMP yang ada di Diskrit/Wilayahnya sendiri
|
Wajib belajar
di diskrit/wilayahnya sendiri selama masa/usia wajib belajar
|
Boleh sekolah
di wilayah kabupaten/kota lain sesuai dengan jumlah yang ditentukan
|
9
|
Jam pelajaran
di SSD daan SMP/SMA
|
1 JP di SD: 45
Menit
1 JP di
SSMP/SMA: 50 Menit
|
1 JP di SD Kls
rendah: 30’
1 JP di SD Kls
tinggi: 35’
1 JP di
SMP/SMA/SMK: 45’ (lebih banyak mata pelajarannya)
|
10
|
Jenis ujian di
SMP dan SMA
|
1. Misi test dan final test
2. Awalnya tidak ada ujian nasional,
tetapi mulai diadakan tahun 2007
|
1. Misi test dan final test
2. Ada ujian nasional
|
11
|
Jenis-jenis
SMA
|
Ada 3 jenis:
1. Full time (3 tahun)
2. Part time (menghasilkan setara
diploma)
3. Tertulis (menghasilkan setara
diploma)
|
Hanya saatu
macam, tidak ada jenis seperti di Jepang
|
12
|
Jurusan di SMA
|
Ada beberapa
jenis berdasarkan pola kurikulum, yaitu:
1. Jurusan umum (akademis)
2. Jurusan pertanian
3. Jurusan teknik
4. Jurusan perdagangan
5. Jurusan perikanan
6. Jurusan home economic
7. Jurusan perawatan
Sekolah
kejuruan: 5 tahun dari lulusan SMP dengan tujuan membina teknisi
|
Dibedakan
antara SMA dan SMK
1. Jurusan di SMA: IPA, IPS, dan
Bahasa
2. Jurusan di SMK: Sangat bervariasi
|
13
|
Ujian masuk
SMA
|
Meliputi mata
pelajaran Bahasa Jepang, English, Math, Sosial Studies, dan Science
|
Ada yang
berdasarkan NEM asal (SMP/MTs) saja, ada juga yang berdasarkan NEM asa; dan
ujian beberapa mata pelajaran
|
14
|
Jenis-jenis
Perguruan Tinggi
|
1. Universitas/Institut
2. Junior college (Akademi)
3. Technical College (Akademi
Teknik)
|
1. Universitas
2. Institute
3. Sekolah Tinggi
4. Politeknik
5. Akademi
6. Akademi komunitas
(UU No. 12 Tahun 2012 Tentang
Pend. Tinggi)
|
15
|
Lama
Pendidikan
|
Universitas/Institut:
1. S1: 4 Tahun kecuali kedokteran
dan kedokteran gigi 6 tahun
2. S2: 2 tahun
3. S3: 3 tahun
Vokasi
(Diploma):
1. D1: 1 Tahun
2. D2: 2 Tahun
3. D3: 3 Tahun
|
Universitas/institute/sekolah
tinggi:
1. S1: 4 Tahun kecuali kedokteran
dan kedokteran gigi 6 Tahun
2. S2: 2 tahun
3. S3: 3 tahun
Vokasi
(Diploma):
1. D1: 1 Tahun
2. D2: 2 Tahun
3. D3: 3 Tahun
4. D4: 4 Tahun
|
16
|
Jenis-jenis
Mahapeserta didik pada Program Sarjana
|
1. Mahapeserta didik regular (4
tahun kecuali kedokteran 6 th)
2. Mahapeserta didik pendengar (mahapeserta
didik yang diizinkan mengambil mata kuliah tertentu dengan syarat dan jumlah
kredit yang berbeda di setiap universitas tetapi kredit itu tidak diakui)
3. Mehapeserta didik pengumpul
kredit (hamper sama dengan mahapeserta didik pendengar tetapi kreditnya
diakui)
Pada program
pascasarjana, selain terdiri atas program Master dan Doktor, juga terdapat
mahapeserta didik peneliti, mahapeserta didik pendengar, dan pengumpul
kredit. Mahapeserta didik peneliti adalah mahapeserta didik yang diizinkan
melakukan penelitian pada bidang tertentu selama satu semester atau 1 tahun
tanpa tujuan mendapatkan gelar
|
Tidak ada
jenis-jenis mahapeserta didik seperti di Jepang, yang ada adalah mahapeserta
didik Program Sarjana (S1), Program Magister (S-2), dan Program Doktor (S-3).
|
17
|
Program
pendidikan pada Junior College (Akademi)
|
Kurikulumnya
tunggal, misalnya music saja, atau sastra inggris. Kebanyakan untuk wanita,
dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan wanita sebagai ibu rumah tangga.
Hanya 5% dari lulusannya yang biasanya melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi
|
Kurikulumnya
satu disiplin ilmu, terutama ilmu terapan, misalnya akademi ilmu ekonomi.
Tujuannya lebih diarahkan untuk menjadi tenaga terampil yang siap kerja
|
18
|
Pengembangan
Kurikulum Sekolah
|
1. Lebih menekankan pada system
pendidikan di Sekolah, bukan pada perubahan mata pelajaran atau metode
mengajar
2. Gakusyuushidouyouryou (kurikulum)
pertama kali dikeluarkan pada tahun 1947, bertepatan dengan lahirnya UU
Pendidikan di Jepang. Selanjutnya berkali-kali mengalami pembaharuan, yaitu
pada tahun 1951, 1956, 1961, 1971, 1980, 1992, 2002, dan 2011
|
1. Tampaknya masih bertumpu pada
mata pelajaran, belum pada system pendidikannya
2. Dimulai dari Rencana Pelajaran
1947, 1952, 1964, Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1988, 1994, Kurikulum 1994
Suplemen 1999, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013
|
19
|
Kemunduran
pendidikan
|
Dengan system
pendidikan yang ketat menyebabkan banyak orang yang mengalami gangguan
psikir. Kemudian pelaksanaannya agak longgar tetapi menyebabkan kemunduran
pendidikan yang menurut para ahli di Jepang ditandai antara lain: menurunkan
minat bersekolah anak-anak, dekadensi moral dan kedisiplinan yang mulai
rapuh, juga prestasi belajar yang menurun
|
Pelaksanaan
pendidikan di Indonesia lebih longgar, tidak seketat Jepang, namun
tanda-tanda kemunduran pendidikan di Jepang juga terjadi di Indonesia
|
20
|
Pengembangan
profesionalisme guru
|
Dilakukan
secara terus menerus, Jepang menyadari karena miskin SDA, maka pengembangan
SDM termasuk guru perlu dilakukan tersu menerus
|
Dilakukan
secara terus menerus, antara lain melalui Sertifikasi guru dan uji kompetensi
guru agar memenuhi kompetensi pedagogic, kepribadian, social, dan
professional.
|
21
|
Pendidikan
Karakter
|
1. Tercantum dalam UU dan diberikan
pada setiap jenjang kelas sekolah
2. Mampu menciptakan karakter bangsa
Jepang sebagai bangsa yang ulet, pekerja keras, gigih, jujur, memiliki rasa
toleransi dan kesetiakawanan yang tinggi.
3. Diintegrasikan ke dalam kurikulum
pendidikan dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mata
pelajaran lainnya.
4. Meliputi 14 area dengan total 76
item.
|
1. Belum tercantum dalam UU dan
pelaksanaannya di sekola belum jelas
2. Dalam pembelajaran di sekolah,
telah dimunculkan pendidikan karakter/nilai karakter, meliputi 18 item,
yaitu: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli social, tanggung jawab (Modul PLPG Rayon 113 UNS tahun
2012, Agus Zaenal Fitri, 2012.
|
Berdasarkan
pemaparan tersebut, terlihat bahwa untuk menghasilkan SDM yang berkualitas,
maka perlunya komitmen dari berbagai pihak terutama pemerintah. SDM yang
berkualitas harus ditunjang dengan pendidikan yang berkualitas pula. Dari
system pendidikan yang diterapkan di Negara-negara maju terlihat bahwa dalam
pendidikan selalu dimasukkan unsur-unsur karakter di dalamnya. Berbeda dengan
system pendidikan di Indonesia yang lebih mengutamakan kognitif peserta didik.
Selanjutnya pendidikan di Indonesia selalu diikuti oleh unsur-unsur politik,
sehingga tujuan dari pendidikan nasional Indonesia belum tercapai. Dengan
demikian, perlu kiranya kita bercermin kepada Negara-negara maju mengenai
system pendidikannya agar Indonesia dapat menghasilkan SDM yang berkualitas.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Kurikulum di Jepang memiliki
karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
2) Tujuan kurikuler dari negara Jepang
dalam pendidikan matematika yaitu berusaha untuk memberikan para peserta didik
dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan
mereka untuk berpikir secara logis dan
kreatif menggunakan masalah matematika yang didasarkan pada situasi kehidupan
nyata.
3) Matematika Jepang memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mencoba menyelesaikan
masalah dengan pola pikir sendiri.
4) Inti pengajaran matematika di
jepang adalah membentuk pola pikir para peserta didiknya. Pendekatan yang
sering dipakai adalah open ended, problem solving dan discovery.
4.2 Saran
Dengan
system pendidikan di Jepang, maka perlu kiranya Negara Indonesia sebagai Negara
berkembang mengadopsi system pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia dari Jepang.
Brady, Laurie, &
Kennedy, Kerry. 2007. Curriculum
Construction. Frenchs Forest, NSW: Pearson, Prentice Hall.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 tentang SI dan SKL.
Jakarta: Sinar Grafika.
Dimyati dan Mudijono.
2002. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muliyardi. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika
Menggunakan Komik di Kelas I SD (Disertasi Tidak Diterbitkan). Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya Program Studi Pendidikan Matematika.
Mulyono, Abdurrahman.
2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Orintein, Allan C &
Hunkins Francis P. 2013. Curriculum
Foundation, Principles and Issues. Englewood Cliffs N.J.: Prentice Hall.
Ramli, Murni. 2009. Konsep Pembahasan Kurikulum di Jepang.
http://indosdm.com. Diakses tanggal 10 April 2015.
Rivai dan Murni. 2009. Educational Management Analisis Teori dan
Praktek. Jakarta: Rajawali Press
Suherman, Erman dkk.
2003. Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: UPI.
Zais, Robert S. 1976. Curriculum: Principles and Foundations.
New York: Thomas Y. Crowell, Harper
& Row Publishers
Best bets for soccer today - Sports Toto
BalasHapusToday, we're febcasino.com going to https://septcasino.com/review/merit-casino/ tell ventureberg.com/ you a 토토사이트 few key to checking into soccer betting apps. of the most popular soccer betting options and which ones will gri-go.com