Selasa, 05 Mei 2015

Pembelajaran Matematika di Jepang




BAB 1 
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
Tingkat SD merupakan saat-saat awal peserta didik mengenal matematika secara formal. Untuk itu, kemampuan berpikir peserta didik perlu dikembangkan mulai dari awal mereka mengenal matematika sampai ke jenjang selanjutnya, sehingga peserta didik mampu bernalar, menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah dalam matematika. Dengan kemampuan tersebut, maka peserta didik akan mampu memahami konsep dalam pembelajaran matematika, sehingga apapun bentuk soal yang diberikan peserta didik akan mampu menyelesaikannya dengan benar.
Peserta didik akan mendapatkan kemampuan-kemampuan itu melalui proses pendidikan di sekolah, khususnya melalui proses pembelajaran yang bermakna. Untuk itu, proses pembelajaran matematika di sekolah perlu diarahkan untuk membantu peserta didik menggunakan daya intelektualnya dalam proses pembelajaran. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006, tentang standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah  menegaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah.
1)   Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan penjelasan di atas, pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya, sedangkan untuk memahami suatu permasalahan perlu adanya pemahaman peserta didik terhadap konsep matematika.
Namun, berdasarkan data diperoleh bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan untuk menelaah, memberi alasan, dan mengkomunikasikannya secara efektif, serta memecahkan dan menginterpretasikan permasalahan dalam berbagai situasi masih sangat rendah. Berdasarkan data tentang kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara-negara lain adalah sebagai berikut: (1) Hasil survei Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang Matematika dari 45 negara yang disurvei (Rivai dan Murni; 2009: 49); (2) Mutu akademik antar bangsa melalui Programme for International Student Assessment (PISA) di bidang Matematika pada tahun 2003 menempatkan peserta didik Indonesia pada peringkat ke-39 dari 40 negara sampel, yaitu hanya satu peringkat lebih tinggi dari Tunisia, hasil PISA tahun 2006 Indonesia ranking ke-38 dari 41 negara, hasil PISA terbaru 2009 semakin melengkapi rendahnya kemampuan peserta didik-peserta didik Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu ranking ke-61 dari 65 negara (Kunandar; 2007: 2); (3) Pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan 64 dari 65 Negara yang mengikuti tes (Kompas, 2013).
Berdasarkan data yang telah dipaparkan, kecakapan matematika yang diharapkan dunia melalui tes PISA itu berbeda dengan yang diajarkan di sekolah dan yang diujikan dalam ujian nasional. Ini tidak berarti matematika di Indonesia lebih mudah daripada di negara lain yang meraih ranking lebih tinggi dalam PISA. Namun, sekolah Indonesia terlalu fokus mengajarkan kecakapan yang sudah kedaluwarsa, seperti menghafal dan berhitung ruwet. Hal ini berbeda dengan pembelajaran matematika Negara-negara lain, khususnya di Jepang, yang merupakan salah satu Negara yang berada pada peringkat 5 besar tertinggi dalam bidang matematika dan sains. Pembelajaran matematika, terutama di SD dan SMP di Jepang sangat menarik karena guru-guru selalu menyiapkan bahan belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting, jepitan pakaian, atau bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Alat peraga digunakan untuk membantu membentuk pola pikir anak. Misalnya seorang guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan. Selanjutnya di Jepang adanya kurikulum matematika yang menarik dan menantang, sehingga pembelajaran matematika menjadi bermakna bagi peserta didik.
Tujuan kurikuler dalam pendidikan matematika yaitu untuk memberikan para peserta didik dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka  untuk berpikir secara logis dan kreatif. Dengan demikian, agar kualitas pendidikan tidak berada pada tingkat rendah, khususnya matematika dibandingkan negara lainnya, maka perlu kiranya Indonesia bercermin kepada negara-negara yang memiliki kualitas pendidian yang tinggi. Salah satunya adalah di Jepang. Dengan demikian, penulis akan memaparkan tentang bagaimana pendidikan matematika di Jepang jika dilihat dari aspek kurikulumnya.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.2.1        Bagaimana pendidikan matematika di Jepang?
1.2.2        Bagaimana kurikulum matematika di Jepang?
1.2.3        Bagaimana perbandingan pendidikan matematika di Jepang dengan Indonesia?
1.2.4        Apa solusi yang tepat untuk pembelajaran matematika di Indonesia?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.3.1        Memaparkan pendidikan matematika di Jepang
1.3.2        Memaparkan kurikulum matematika di Jepang
1.3.3        Menjelaskan perbandingan pendidikan matematika di Jepang dengan Indonesia
1.3.4        Memaparkan solusi yang tepat untuk pembelajaran matematika di Jepang

  
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan suatu proses aktif yang dilakukan oleh guru sebagai usaha untuk mengembangkan segala potensi yang terdapat dalam diri peserta didik. Menurut Fontana (dalam Suherman dkk, 2003:7), “Pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal”. Dari pengertian ini dapat kita ketahui bahwa pembelajaran itu merupakan suatu proses sistematik yang sengaja dibuat oleh peneliti guna menciptakan suatu kondisi yang baik bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
Peserta didik sebagai salah satu unsur dalam proses pembelajaran merupakan titik sentral yang perlu untuk diperhatikan. Karena dari tingkat perkembangan kemampuan peserta didik ini dapat diketahui berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran oleh guru yang hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator. Berhubungan dengan hal di atas Piaget (dalam Dimyati & Mudijono, 2002: 14), menjelaskan bahwa.
Pembelajaan terdiri dari empat langkah, yaitu: menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri, memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut, mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah dan menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan dan melakukan revisi.

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan suatu proses pembelajaran yang baik, guru dapat menyusun suatu skenario pembelajaran yang harus disesuaikan dengan materi yang diberikan, situasi dan kondisi kelas yang dihadapi berpedoman kepada langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Matematika merupakan salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dikembangkan. Matematika memiliki pengertian yang cukup beragam, sesuai dengan sudut pandang seseorang dalam memahaminya. Ada yang mengatakan bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali, dan bagi, tetapi ada pula yang mengaitkan topik-topik seperti aljabar, geometri, dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berfikir logis. Cockroft (dalam Mulyono, 2003: 253), mengemukakan sebagai berikut.
Matematika perlu diajarkan kepada peserta didik karena a) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; b) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; c) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; d) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; e) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan f) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Jadi, dapat dilihat bahwa berbagai alasan perlunya sekolah mengajarkan matematika kepada peserta didik. Matematika pada hakikatnya merupakan suatu pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan pada proses penalaran deduktif. Kline (dalam Mulyono, 2003: 252), menjelaskan bahwa “Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.”
Berhubungan dengan pembelajaran matematika, Nikson (dalam Muliyardi, 2006: 11), mengemukakan bahwa “Pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu peserta didik untuk menkonstruksi (membangun) konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali”. Seorang peserta didik tertarik untuk mempelajari sesuatu jika dia dapat melihat bahwa sesuatu yang dipelajari itu dapat dipakai memenuhi kebutuhannya, dengan perkataan lain berguna baginya. Untuk itu pembelajaran matematika harus bermakna, artinya peserta didik melihat bahwa matematika penting untuk dirinya kelak karena dapat membantunya memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Jadi, pembelajaran matematika haruslah bermakna bagi peserta didik. Dengan demikian sebaiknya soal-soal matematika itu dimulai dari masalah-masalah yang realistik bagi peserta didik, artinya dapat dibayangkan oleh peserta didik atau berkaitan dengan dunia nyata.
2.2 Kurikulum
Kurikulum, umumnya, diartikan sebagai seperangkat mata pelajaran dan atau materinya yang akan dipelajari, atau yang akan diajarkan guru kepada peserta didik. Bagi kebanyakan peserta didik, kurikulum identik dengan tugas pelajaran, latihan atau isi buku pelajaran. Para orang tua cenderung memaknai kurikulum sebagai latihan pelajaran sekolah atau pekerjaan rumah. Bagi guru, kurikulum seringkali diasosiasikan dengan petunjuk atau pedoman tentang konten kurikulum (materi pelajaran) yang akan diajarkan kepada peserta didik di samping strategi, metode atau teknik mengajar serta buku sumber materi ajar. Kurikulum juga diartikan berbeda oleh penulis buku pendidikan. Pengertian kurikulum oleh seorang penulis berbeda dengan penulis lain.  Bahkan, seorang penulis buku kurikulum memakai istilah kurikulum untuk pengertian yang berbeda (Brady & Kennedy, 2007: 4).
Sebagai suatu bidang studi yang dinamik (Orstein & Hunkins, 2013:1), perbedaan tersebut wajar, karena konsep kurikulum bisa berubah dan berkembang mengikuti perubahan zaman dan tuntutan kemajuan serta perbedaan persepsi atau pandangan filosofis beberapa penulis pendidikan. Beberapa variasi definisi kurikulum, antara lain, sebagai berikut.
Pertama, definisi kurikulum tradisional, berdasarkan filsafat perenialisme, mengartikan kurikulum sebagai an organized body of knowlege (Ornstein & Hunkins, 2013: 34) yang tertuang dalam mata pelajaran. Adalah tugas sekolah untuk mentransfer mata pelajaran itu kepada peserta didik. Kemudian, definisi ini berkembang dari rencana untuk mengajarkan mata pelajaran menjadi pengalaman belajar teerencana (planned learning experience).
Kedua, pada abad ke-XX konsep kurikulum tradisional mendapat tantangan. Volume ilmu pengetahuan berkembang pesat yang memunculkan peledakan pengetahuan (explotion of knowldege) sehingga tidak mungkin semua pengetahuan bisa diajarkan guru kepada peserta didik. Selain itu, ledakan pengetahuan mengakibatkan tidak semua pengetahuan dapat ditulis dalam buku teks; banyak pengetahuan yang bisa dipelajari peserta didik dari media cetak dan elektronik, dengan fasilitasi atau tanpa guru. Akibatnya, sangat sukar menyeleksi pengetahuan ”esensial” untuk masuk buku teks atau buku paket. Kenyataan ini mengharuskan pendidik merubah orientasi pembelajaran dari mengajar menjadi membelajarkan peserta didik dengan menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kematangan peserta didik.
Ketiga, perbedaan konsep kurikulum terkait perbedaan aspirasi stake holders pendidikan (Brady & Kennedy, 2007: 4-5), Kurikulum, misalnya, dimaknai berbeda oleh penulis akademik dibandingkan pandangan pemerintah suatu negara yang umumnya menginginkan kurikulum sebagai instrumen perkembangan sosial dan ekonomi peserta didik. Aspirasi terakhir mirip dengan pandangan pebisnis yang memandang kurikulum sebagai sarana pembekalan keterampilan peserta didik untuk memiliki pngetahauan, keterampilan atau komptensi untuk memasuki dunia kerja produktif kelak (Brady & Kennedy, 2007: 4).
 Keempat, varisasi definisi kurikulum bisa bersumber dari perbedaan aliran filsafat pendidikan pendidik dan penyusun kurikulum. Untuk mengemukakan semua definisi kurikulum yang berbeda-beda itu adalah suatu hal yang mustahil. Dalam literatur sangat banyak ditemukan definisi masing-masing penulis kurikulum. Yang dapat kita lakukan adalah mengemukakan beberapa pengertian atau definisi utama kurikulum seperti yang terdapat dalam literatur.
Sebagai Rencana Pembelajaran. Definisi yang paling populer ialah kurikulum sebagai rancangan (plan) untuk mencapai tujuan pendidikan (Ornstein & Hunkins, 2013:8). Rancangan itu, menurut Beauchamp (1972:19), adalah pedoman  perencanaan intruksional. Definisi yang hampir sama diajukan Taba (1962:11) bahwa kurikulum sebagai “…a plan for learning”; kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Tanner dan Tanner (1975:45) menggabungkan kedua definisi tersebut sebagai pengalaman belajar terencana dan terprogram serta hasil belajar yang terbentuk dari hasil rekonstruksi peserta didik atas pengetahuan dan pengalaman di bawah pengawasan sekolah untuk mencapai kompetensi personal dan sosial peserta didik.  Tanner dan Tanner kemudian merevisi definisi mereka itu dengan memasukkan peran peserta didik sebagai subjek pendidikan yang mampu mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman (Tanner&Tanner, 1980:43).
Kurikulum bukan hanya memuat rencana tertulis (dokumen) saja, tetapi yang penting adalah bahwa kurikulum diaartikan sebagai pengalaman belajar peserta didik sebagai hasil implementasi rencana tertulis itu oleh guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Artinya, sebagai hasil pelaksanaan kurikulum di sekolah, peserta didik berinteraksi dengan konten kurikulum yang menghasilkan pengalaman peserta didik yang selanjutnya dapat ditransformasi atau dikonstruksi peserta didik menjadi pengalaman dan/atau kompetensi. Secara implisit, peserta didik yang memiliki pengalaman atau kompetensi, berarti dia mempunyai keterampilan aplikatif dari konten atau pengetahuan yang telah dipelajarainya, bukan hanya sekedar mengetahui konten atau materi itu saja.
Selain itu, kurikulum sebagai rencana, seharusnya juga mencakup komponen instruksional lainnya seperti ruang lingkup (scope) pelajaran, urutan (sequence) materi dan kegiatan pembelajaran, strategi, metode dan teknik-teknik membelajarkan peserta didik serta hal-hal apa saja yang dapat direncanakan terlebih dahulu agar pembelajaran berjalan dengan  baik. Macdonald (1965:3) merinci komponen kurikulum sebagai rencana kerja untuk menuntun proses pembelajaran. Rencana tersebut dapat berupa dokumen tertulis, atau tidak tertulis yang sudah ada di kepala guru. Hal ini terbukti oleh hasil observasi P.H. Taylor (1970) yang menyimpulkan banyak guru yang merencanakan pengajaran dengan sedikit catatan, tetapi banyak sekali pengajaran yang dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang dikembangkan menurut rencana yang tidak ter¬tulis (Schubert,1986: 27).
Masalah lain definisi kurikulum sebagai kegiatan terencana adalah kurikulum dapat juga berarti rencana pelajaran unit. Rencana pelajaran unit, pada hakekatnya, adalah instrumen atau bagian kecil suatu kurikulum. Selain itu, pengertian kurikulum yang sempit ini bermakna bahwa proses aktualisasi rencana itu berada di luar kurikulum.
Kesimpulan ialah bahwa kurikulum dapat berarti rancangan tertulis sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran. Pengertian yang penting ialah bahwa kedua jenis kurikulum, baik yang tertulis maupun implementasinya di sekolah, harus dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian, pada tingat evaluasi kurikulum kita tidak boleh hanya mengevaluasi salah satu saja dari kurikulum dan implementsinya dalam pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pembelajaran, kita perlu evaluasi apakah kedua materi dan kegiatan belajar ada pada setiap proses pembelajaran.
Berdasarkan hal itu, kurikulum sebagai mata pelajaran tidak lengkap tanpa dilengkapi kegiatan belajar peserta didik dalam proses pembelajaran. Alasannya ialah tanpa kegiatan belajar, suatu kurikulum hanya lebih mengutamakan keberhasilan peliputan (coverage) materi ajar dari pada menghasilkan pengalaman atau kompetensi tertentu. Padahal, untuk menghindarkan kurikulum menjadi disfungsional (curriculum dysfunctional), kedua komponen materi dan keguatan belajar peserta didik harus ada pada proses pembelajaran (lihat Zais, 1976: 353).  Hal ini penting mengingat pembelajaran tanpa keterlibatan aktif peserta didik mempelajari konten atau materi, materi itu hanya sekedar informasi bagi peserta didik, belum menjadi pengetahuan atau pengalaman apalagi kompetensi siwa.
Selain sekedar peliputan mata pelajaran atau mata kuliah beserta kontennya, hal lain yang menjadikan kurikulum fungsioanal (efektif), antara lain, adalah metode atau susunan materi dan kegiatan belajar (seperti urutan, tingkat kesukaran (grading), suasana belajar, strategi dan metode pembelajaran, serta media) yang merupakan faktor-faktor penting yang dapat memfasilitasi peserta didik menguasai kompetensi tertentu. Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh pada keberhasilan pembelajaran yang seringkali terabaikan ialah pengetahuan awal (entry behavior), keterampilan belajar (learning skills), motivasi atau sikap pembelajar terhadap mata pelajaran tertentu, iklim belajar, tingkah laku guru dan lingkungan pendidikan dan pembelajaran, intensitas interaksi peserta didik dan materi ajar, guru, lingkungan belajar,  iklim akdemik, di samping iklim sekolah, kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler. Jadi, pandangan yang mendefinisikan kurikulum sebagai mata pelajaran atau kontennya saja sangat mempermudah masalah kurikulum yang begitu kompleks. Artinya, kurikulum sekolah mencakup hal-hal yang jauh lebih luas dari peliputan atau pengajaran seperangkat mata pelajaran saja sehingga perlu dimasukkan banyak faktor-faktor lain di luar mata pelajaran dan konten ke dalam pengertian kurikulum, kalau kita ingin kurikulum sebagai sarana untuk menjadikan perserta didik menjadi orang yang diinginkan (what can men  become).
Sebagai Pengalaman Belajar. Semenjak akhir tahun 1930-an telah ada yang mengartikan kurikulum sebagai semua pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik sesuai dengan yang direncanakan dan dilaksanakan sekolah (Foshay,1969:275). Defenisi ini bertahan lama sekali. Sebelum Foshay (1969), Caswell dan Campbell (1935:66) memandang kurikulum bukan sebagai sekelompok mata pelajaran yang harus diajarkan kepada, atau dipelajari oleh, peserta didik tetapi sebagai pengalaman yang diperoleh anak-anak di bawah arahan guru. Malahan Saylor dan Alexander mengartikan kurikulum lebih luas dari pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah. Kedua penulis ini mendefenisikan kurukulum sebagai upaya bersama  sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik melalui pembelajaran di kelas dan lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Definisi yang sejalan degan itu dikemukakan Mark dan Jamisson  yang mengatikan kurikulum sebagai seperangkat pengalaman belajar yang dimiliki peserta didik  dalam suatu “settting” pembelajaran.
 Definisi ini menyatakan bahwa kurikulum diartikan secara lebih luas dari definisi sebelumnya yang membatasi kurikulum sebagai rencana, atau sekadar untuk mengajarkan mata pelajaran dan materi ajarnya. Dalam kurikulum sebagai pengalaman sudah mencakup pengertian bahwa kurikulum bukan hanya dokumen rencana untuk membelajarkan peserta didik tetapi termasuk hasil implementasi rencana itu dalam kelas, di lingkungan sekolah dan di luar sekolah, berupa  pengalaman belajar peserta didik, asalkan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Karena peserta didik sudah memperoleh pengalaman, peserta didik kini dapat melakukan hal-hal baru sperti membaca, memainkan suatu instrumen, bersosialisasi dan bersikap positif dan sebagainya.
Kesimpulan ialah kurikulum dan pengajaran merupakan satu kesatuan yang saling berterkaitan, karena kurikulum memberikan arah kepada pembelajaran walau kurikulum tidak memuat rencana pembelajaran. Tetapi dapat dirangkum bahwa kurikulum mengacu pada program, rencana, konten dan pengalaman belajar; sedangkan pembelajaran merujuk pada metodologi, kegiatan pengajaran, implementasi dan presentasi dari apa yang direncanakan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada dikotomi antara keduanya. Kebanyakan program studi ini di perguruan tinggi di Amerika Serikat menetralisir kontroversi kedua istilah itu dengan menamakan mata kuliah ini “Curriculuem and Instruction.” Usaha untuk menetralisir kedua istilah itu juga diajukan Zais (1976:12) yang menyatakan bahwa kedua konsep tersebut berada dalam satu kontinium:  pada ujung kiri kontinium ada kurikuluim yang bersifat akhir-general (ultimate-general) dan pada ujung lainnya terdapat pembelajaran yang bersifat langsung-spesifik (immediate-specific). Hal yang mirip juga diusulkan Parkey et.al. (2010:2) bahwa kurikulum mengacu pada the what of education sedangkan pembelajaran pada the the how.  
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam melaksanakan pendidiakan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup bangsa, ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak di tentukan oleh kurikulum yang di gunakan oleh bangsa itu tersebut sekarang. Nilai sosial, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat cenderung dan selalu mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum harus dapat mengatasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara-cara yang di anggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Kurikulum dapat merencanakan hasil pendidikan atau pengajaran yang diharapkan karena dapat menunjukkan apa yang harus dilakukan dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik. Hasil pendidikan kadang-kadang tidak dapat diketahui dengan segera atau setelah anak didik menyelesaikan program pendidikan. Pembaharuan kurikulum harus segera dilakukan sebab tidak ada kurikulum yang sesuai  sepanjang masa. Kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa cenderung berubah.
Perubahan Kurikulum dapat bersifat keseluruhan yang menyangkut semua komponen. Perubahan kurikulum menyangkut berbagai faktor, baik orang-orang yang terlibat dalam dalam pendidikan dan faktor penunjang dalam pelaksanaan pendidikan sebagai konsekuensi dan perubahan kurikulum juga akan mengakibatkan perubahan dalam operasionalisasi kurikulum tersebut baik orang yang terlibat dalam pendidikan maupun faktor-faktor penunjang dalam melaksanakan kurikulum.
Perubahan kurikulum biasanya di mulai dari perubahan konseptual dan fundamental yang diikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada komponen tertentu saja, misalnya pada tujuan saja, isi saja, atau sistem penilaian saja. Perubahan kurikulum bersifat menyuluruh bila mencakup perubahan semua komponen
  
BAB 3 
ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak didapatkan oleh setiap individu. Karena pentingnya pendidikan maka kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikannya. Begitulah yang kita lihat saat ini tentang pendidikan di Negara kita jika dibandingkan dengan Negara-negara maju. Ternyata antara kemajuan suatu Negara dengan kualitas pendidikan berbanding lurus. Hal ini bisa kita lihat di beberapa Negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan lain sebagainya. Jika dilihat pada aspek pendidikannya, Negara Indonesia jauh ketinggalan dari Negara-negara maju tersebut yang mempunyai kualitas pendidikan yang sangat bagus. Ternyata salah satu factor yang mempengaruhi bagusnya kualitas pendidikan di Negara tersebut adalah kurikulumnya. Kurikulum di Jepang sangat menarik dan menantang bagi peserta didik. Di dalam kurikulum di Jepang, yang terpenting adalah bukan banyaknya materi pelajaran, namun yang terpenting adalah pendekatan cara mendidiknya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan kurikulum di Indonesia yang padat akan materi, sehingga terkadang peserta didik menjadi kewalahan dalam mempelajarinya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Ramli (2009), bahwa permasalahan kurikulum bukan terletak pada perubahan isi setiap mata pelajaran, atau bukan pada perubahan metode pengajaran di kelas, tetapi harus memuat system pendidikan di kelas.
Jika ada seorang guru berhasil mengembangkan materi pelajarannya, mengembangkan metode baru dan selesai dengan cepat menyusun silabus pembelajaran, itu bukanlah sebuah kemajuan bagi pendidikan di sekolah. Yang terpenting bagi seorang guru adalah menjadikan keberhasilan itu bukan milik pribadi, tetapi miliki semua guru dan aparat sekolah.
Kualitas pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Tak hanya di Indonesia yang gemar ganti kurikulum pendidikan, negara maju seperti Jepang pun kerap ganti kurikulum. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Menurut Ahmad Sentosa dalam artikel berjudul Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang, Ia menjelaskan untuk level pendidikan taman kanak-kanak (TK), di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari. Karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran, tatapi lebih tepat disebut pendidikan. Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang mana pada level taman kanak-kanak anak sudah dituntut untuk pandai membaca, karena sebagian besar anak yang lulus masuk SD haruslah mempunyai kemampuan untuk membaca.
Sedangkan untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Hanya yang membedakan adalah pada mata pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan utama diajarkan mata pelajaran ini adalah untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada pola hidup mandiri. Daripada mengajarkan mata pelajaran IPA dan IPS, Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada anak-anak yang baru lulus dari tingkat TK yang lebih memfokuskan kegiatan bermain daripada belajar di dalam kelas. Hal ini sangat berbeda sekali dengan fenomena yang ada di Indonesia. Materi yang diajarkan untuk tingkat rendah levelnya terlalu tinggi untuk kelas rendah. Hal ini dapat dilihat dari LKS yang diberikan kepada peserta didik kelas rendah yang memaparkan banyak materi, sehingga peserta didik kurang paham dengan materi tersebut. Fenomena ini terjadi ketika penulis melihat LKS yang diberikan kepada anak kelas 1 yang padat akan materi dan tidak dihubungkan dengan kehidupan nyata peserta didik.
Selanjutnya pembelajaran utama seperti bahasa Jepang dan berhitung mempunyai porsi yang lebih dibanding pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak secara khusus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Dan pendidikan moral sudah termasuk pada pendidikan agama (Kristen, Budha, Shinto). Selain murid disibukkan dengan pendidikan akademik, pendidikan bersifat estetik berupa musik dan menggambar juga diajarkan dalam porsi besar di kelas 1 dan 2.
Untuk pendidikan SMP, kurikulum menitik beratkan pada pendidikan bahasa Jepang, matematika, IPA dan IPS. Sedangkan pendidikan bahasa asing seperti Inggris dan Jerman tidak diwajibkan dan hanya bersifat pilhan bagi murid. Pelajaran bahasa Inggris baru dijadikan pelajaran wajib di level SMP pada kurikulum 2002. Adanya mata pelajaran pilihan seperti bahasa Jepang, IPS, matematika, IPA, musik, art, pendidikan jasmani, keterampilan, dan bahasa asing, merupakan pembeda khas antara kurikulum pendidikan SMP di Jepang dan Indonesia. Selain pendidikan utama di Jepang juga dilengkapi dengan pendidikan ekstrakurikuler seperti di Indonesia.
Dibandingkan kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering berubah. Pada tingkat ini sudah diadakan sistem penjurusan seperti di Indonesia. Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya pelajaran yang diajarkan. Contohnya pelajaran bahasa Jepang yang mulai dikelompokkan menjadi literatur klasik dan modern. Penjurusan dilakukan di kelas 3, jurusan yang ada meliputi IPA dan budaya/sosial. Tetapi seiring berjalannya waktu penjurusan mengalami perkembangan karena banyaknya lulusan SMA yang memilih akademi yang terkait dengan teknik, pertanian, perikanan, kesejahteraan masyarakat, dan lain lain.
Bukan hanya di Indonesia saja banyak pro dan kontra tentang kurikulum pendidikan, di jepang pun kurikulum dilakukan secara top down, bukan bottom up. Karenanya banyak yang tidak dapat diterapkan di sekolah secara optimal. Dan pada akhirnya mendapat protes keras dari para guru. Di Jepang memperlakukan kegiatan belajar di luar secara berkala, mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk dan menggali umbi-umbian, bahkan sampai belajar menanam padi di sawah. Di lain waktu, peserta didik secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih kemandirian, selain itu diselingi kegiatan wawancara dengan berbagai narasumber kemudian menjadi bahan untuk presentasi di depan kelas.
Sepertinya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang di dalamnya seperti guru dan para pelajar pun harus ikut mendukung untuk mencapai visi dan misi yang sama. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang dikatakan sebelumnya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata bongkar pasang, tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya dapat menciptakan banyak SDM berkualitas.
Selanjutnya pendidikan matematika di Jepang memiliki kurikulum. Kerangka kurikulum Jepang untuk bidang matematika tidak ditargetkan untuk menguasai luasnya cakupan, tetapi justru menargetkan kedalaman proses pembelajarannya (Schmidt, McKnight, & Raizen, 1996, dlm Darling-Hammond, 1997). Terkait dengan target ini, para guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan arti atau makna dasarnya, dan tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan belaka. Dengan demikian, penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman daripada sekedar menerapkan rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam memecahkan soal atau topic.
Tujuan kurikuler dalam pendidikan matematika yaitu untuk memberikan para peserta didik dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpikir secara logis dan kreatif. Waktu belajar mengajar matematika di Jepang lebih sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia. Buku pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda dan hal-hal lain yang memiliki relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam buku.
Kurikulum matematika di Jepang tidak sepadat yang ada di Indonesia. Kurikulum matematika dasar Jepang memiliki tujuan belajar lebih sedikit daripada Indonesia. Sehingga sebagian besar peserta didik Jepang memiliki cukup waktu untuk menyerap dan memahami setiap pelajaran. Mereka bahkan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan karya tangan dan kegiatan menyenangkan lainnya tapi merangsang dalam belajar matematika. Peserta didik Jepang belajar untuk menikmati matematika dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan pelajaran mereka dalam situasi kehidupan nyata.
Pada  kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi peserta didik SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan. Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar peserta didik dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan.
Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun 2007, yang pernah dilaksanakan pada tahun 1960. Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat. Kurikulum matematika di Jepang menargetkan empat sasaran dasar:
a)  Memperdalam pemahaman peserta didik mengenai integral
b) Memahami arti persamaan (equations)
c)  Memahami fungsi hubungan (relationships)
d) Memperdalam pemahaman peserta didik tentang ciri-ciri ruang (properties of space figures)
Tujuan pembelajaran ini diterjemahkan ke dalam tiga topik utama yang diajarkan. Terkait dengan target ini, para guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan arti atau makna dasarnya, dan tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan belaka. Dengan demikian, penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman daripada sekedar menerapkan rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam memecahkan soal atau topik.
Selanjutnya pengajaran matematika di Jepang relatif berbeda. Kelas dimulai dengan pengantar singkat, kemudian guru menyajikan satu soal yang cukup sulit dan tidak mengajarkan peserta didik cara memecahkan soal tersebut. Para peserta didik lalu mengerjakan sendiri soal tersebut, baik mandiri maupun berkelompok, sambil diawasi oleh guru yang berkeliling untuk melihat berkembangan dan memberikan saran-saran. Setelah sepuluh atau 15 menit, salah seorang peserta didik diminta untuk mempresentasikan apa yang diperolehnya di depan kelas, dengan masukan dari guru jika peserta didik tersebut mengalami hambatan. Matematika jepang memberikan kebebasan pola pikir dalam menyelesaikan masalah kepada anak. Kesalahan yang terjadi pada anak dibiarkan dan dijadikan proses alamiah dalam menemukan pola pikir itu. Guru memberikan sebuah permasalahan untuk dipecahkan anak sesuai dengan pola pikirnya.
Dalam sebuah kelas di Jepang, anak-anak bisa jadi menghabiskan seluruh waktu pembelajaran di kelas untuk mendemonstrasikan dan mendiskusikan beragam solusi yang mereka identifikasi terhadap suatu persoalan. Dengan melihat pada suatu persoalan dari berbagai perspektif, dan menilai proses berpikir dalam diri mereka sendiri, serta mengoreksi miskonsepsi yang telah mereka buat, mereka belajar berpikir secara lentur atau fleksibel. Bukannya belajar dengan semata-mata menerapkan serangkaian aturan yang tidak sepenuhnya mereka pahami, atau memecahkan sejumlah besar persoalan yang sama dengan rumus algoritma yang sama, para peserta didik belajar untuk sampai pada pemahaman akan beragam strategi untuk memecahkan persoalan. Tidak mengherankan bahwa akhirnya mereka pun mampu menerapkan apa yang telah mereka pelajari tersebut dalam situas-situasi baru yang mereka hadapi.
Pembelajaran matematika, terutama di SD dan SMP di Jepang juga sangat menarik, guru-guru selalu menyiapkan bahan belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting, jepitan pakaian, atau bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Alat peraga digunakan untuk membantu membentuk pola pikir anak. Misalnya seorang guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.
Yang menarik, guru sama sekali tidak menggurui dengan memberitahukan jawabannya secara langsung, tetapi seakan-akan beliau tidak tahu, dan meminta peserta didik untuk menjelaskan. Melalui cara ini, saya dapat menangkap bahwa anak-anak Jepang sangat kaya ide. Pepatah `banyak jalan menuju Roma` berlaku di sini. Dan Pak Guru sama sekali tidak pernah mengatakan `salah`, yang dia ucapkan malah kalimat `naruhodo`, yang artinya `Oh, saya baru tahu! Kalimat ini menurut saya membangkitkan suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang anak.Suatu pujian yang bisa diartikan `kamu bisa, Nak !`. Ada 3 prinsip mengajar guru-guru di Jepang, yaitu
a)      Tanoshii jugyou (kelas harus menyenangkan)
b)      Wakaru ko (anak harus mengerti)
c)      dekiru ko (anak harus bisa)
Melalui model pembelajaran seperti itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di Jepang diajari untuk menganalisa sebuah permasalahan, atau menemukan pemecahannya, tanpa dijejali dengan rumus itu rumus ini. Mereka baru diajari rumus /teori belakangan, setelah mereka paham asal-usul sebuah teori, dan bisa menggunakannya di kehidupan sehari-hari. Mereka juga tidak diajari banyak hal, sedikit saja yang penting mengerti.
Pendekatan pembelajaran matematika di Jepang yang diamanatkan oleh standar isi adalah pemecahan masalah, discovery, dan open ended. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Pembelajaran matematika di Jepang berdasarkan masalah kontekstual. Hal ini dapat terlihat dari buku pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda dan hal-hal lain yang memiliki relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam buku. Buku pelajarannya berwarna-warni dan memiliki banyak foto dan gambar.
Hal ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika di Indonesia yang bersifat abstrak. Dengan demikian perlu kiranya kita mengadopsi system pembelajaran matematika di Jepang. Berikut ini ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan untuk pembelajaran matematika di Indonesia, yaitu:
a)      Sebaiknya pemerintah membuat kurikulum khusus untuk pelajaran matematika sebagaimana yang ada di Jepang dengan Kurikulum matematika yang menarik dan menantang bagi peserta didik.
b)      Pembelajaran matematika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, agar pembelajaran menjadi bermakna bagi peserta didik.
c)      Guru harus mampu membangkitkan minat dan motivasi peserta didik dalam pembelajaran matematika
d)     Pembelajaran matematika haruslah menggunakan pendekatan pemecahan masalah dan open ended, bukan dengan hafalan, sehingga peserta didik mampu meningkatkan kemampuan literasinya dalam pemecahan masalah matematika, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Perbandingan Sistem Pendidikan di Jepang dan Indonesia
No.
Unsur/komponen yang dicermati
Sisdiknas di Jepang
Sisdiknas di Indonesia
1
Tujuan pendidikan nasional
Untuk meningkatkan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa yang bebas
Mengembangkan kemampuan dan membentuk, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia eriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas Pasaal 3)
2
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
1.Prinsip Legalisme
2.Prinsip Administrasi yang Demokratis
3.Prinsip Netralitas
4.Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan
5.Prinsip Desentralisasi
1.   Demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif
2.   Sebagai satu kesatuan yang sistemik
3.   Merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaaan peserta didik
4.   Diselenggarakan dengan memberi keteladanan
5.   Diselenggarakan dengan budaya “Calistung”
6.   Diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat (UU Sisdiknas Pasal 4)
3
Acuan Pendidikan
Negara maju terutama AS, dengan penyesuaian terhadap budaya bangsa sendiri, sehingga dihasilkan suatu bentuk yang unik yang mnjadi ciri khas Negara Jepang
Negara maju terutama AS, tetapi “kurang penyesuaian” terhadap budaya bangsa sendiri. Misalnya kita telah memiliki konsep Pendidikan Tamanpeserta didik, tetapi lebih memilih konsepnya Bloom, dkk dari AS.
4
Reformasi Pendidikan
Untuk menyempurnakan tujuan pendidikan, pada tahun 2001 Kementerian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan yang disebut sebagai Rainbase Plan
Telah dilakukan reformasi pendidikan tetapi masih sepotong-sepotong, belum terintegrasi
5
Wajib Belajar
1.   Wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP)
2.   Ciri-ciri:
-       Adanya unsur paksaan agar peserta didik bersekolah
-       Diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar
-       Ada sanksi bagi orang tua uang membiarkan anaknya tidak sekolah
-       Tolak ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah
1.  Wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP)
2.  Ciri-ciri:
-     Tidak bersifat paksaan melainkan persuasive
-     Tidak ada sanksi hokum, sekedar sanksi moral
-     Tidak diatur dalam undang-undang sendiri
-     Keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan. Karena hanya berupa imbauan, pemerintah dan masyarakat tampaknya “kurang serius” dalam menangani pendidikan
6
Jenjang Pendidikan
1.Preschool dan TK
2.SD
3.SMP
4.SMA
5.PT
1. PAUD dan TK
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. PT7
7
Mata Pelajaran di SD
Hanya ada 4, yaitu:
1.  Huruf Jepang (menulis dan membaca)
2.  Matematika
3.  Olahraga
4.  Budi Pekerti
Banyak mata pelajaran
8
Kewajiban anak Sekolah di SD atau SMP yang ada di Diskrit/Wilayahnya sendiri
Wajib belajar di diskrit/wilayahnya sendiri selama masa/usia wajib belajar
Boleh sekolah di wilayah kabupaten/kota lain sesuai dengan jumlah yang ditentukan
9
Jam pelajaran di SSD daan SMP/SMA
1 JP di SD: 45 Menit
1 JP di SSMP/SMA: 50 Menit
1 JP di SD Kls rendah: 30’
1 JP di SD Kls tinggi: 35’
1 JP di SMP/SMA/SMK: 45’ (lebih banyak mata pelajarannya)
10
Jenis ujian di SMP dan SMA
1.   Misi test dan final test
2.   Awalnya tidak ada ujian nasional, tetapi mulai diadakan tahun 2007
1.   Misi test dan final test
2.   Ada ujian nasional

11
Jenis-jenis SMA
Ada 3 jenis:
1.   Full time (3 tahun)
2.   Part time (menghasilkan setara diploma)
3.   Tertulis (menghasilkan setara diploma)
Hanya saatu macam, tidak ada jenis seperti di Jepang
12
Jurusan di SMA
Ada beberapa jenis berdasarkan pola kurikulum, yaitu:
1.   Jurusan umum (akademis)
2.    Jurusan pertanian
3.   Jurusan teknik
4.   Jurusan perdagangan
5.   Jurusan perikanan
6.   Jurusan home economic
7.   Jurusan perawatan
Sekolah kejuruan: 5 tahun dari lulusan SMP dengan tujuan membina teknisi
Dibedakan antara SMA dan SMK
1.   Jurusan di SMA: IPA, IPS, dan Bahasa
2.   Jurusan di SMK: Sangat bervariasi
13
Ujian masuk SMA
Meliputi mata pelajaran Bahasa Jepang, English, Math, Sosial Studies, dan Science
Ada yang berdasarkan NEM asal (SMP/MTs) saja, ada juga yang berdasarkan NEM asa; dan ujian beberapa mata pelajaran
14
Jenis-jenis Perguruan Tinggi
1.      Universitas/Institut
2.      Junior college (Akademi)
3.      Technical College (Akademi Teknik)
1.      Universitas
2.      Institute
3.      Sekolah Tinggi
4.      Politeknik
5.      Akademi
6.      Akademi komunitas
(UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pend. Tinggi)
15
Lama Pendidikan
Universitas/Institut:
1.     S1: 4 Tahun kecuali kedokteran dan kedokteran gigi 6 tahun
2.     S2: 2 tahun
3.     S3: 3 tahun
Vokasi (Diploma):
1.   D1: 1 Tahun
2.   D2: 2 Tahun
3.   D3: 3 Tahun
Universitas/institute/sekolah tinggi:
1.    S1: 4 Tahun kecuali kedokteran dan kedokteran gigi 6 Tahun
2.    S2: 2 tahun
3.    S3: 3 tahun
Vokasi (Diploma):
1.   D1: 1 Tahun
2.   D2: 2 Tahun
3.   D3: 3 Tahun
4.   D4: 4 Tahun
16
Jenis-jenis Mahapeserta didik pada Program Sarjana
1.   Mahapeserta didik regular (4 tahun kecuali kedokteran 6 th)
2.   Mahapeserta didik pendengar (mahapeserta didik yang diizinkan mengambil mata kuliah tertentu dengan syarat dan jumlah kredit yang berbeda di setiap universitas tetapi kredit itu tidak diakui)
3.   Mehapeserta didik pengumpul kredit (hamper sama dengan mahapeserta didik pendengar tetapi kreditnya diakui)
Pada program pascasarjana, selain terdiri atas program Master dan Doktor, juga terdapat mahapeserta didik peneliti, mahapeserta didik pendengar, dan pengumpul kredit. Mahapeserta didik peneliti adalah mahapeserta didik yang diizinkan melakukan penelitian pada bidang tertentu selama satu semester atau 1 tahun tanpa tujuan mendapatkan gelar
Tidak ada jenis-jenis mahapeserta didik seperti di Jepang, yang ada adalah mahapeserta didik Program Sarjana (S1), Program Magister (S-2), dan Program Doktor (S-3).
17
Program pendidikan pada Junior College (Akademi)
Kurikulumnya tunggal, misalnya music saja, atau sastra inggris. Kebanyakan untuk wanita, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan wanita sebagai ibu rumah tangga. Hanya 5% dari lulusannya yang biasanya melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi
Kurikulumnya satu disiplin ilmu, terutama ilmu terapan, misalnya akademi ilmu ekonomi. Tujuannya lebih diarahkan untuk menjadi tenaga terampil yang siap kerja
18
Pengembangan Kurikulum Sekolah
1.     Lebih menekankan pada system pendidikan di Sekolah, bukan pada perubahan mata pelajaran atau metode mengajar
2.     Gakusyuushidouyouryou (kurikulum) pertama kali dikeluarkan pada tahun 1947, bertepatan dengan lahirnya UU Pendidikan di Jepang. Selanjutnya berkali-kali mengalami pembaharuan, yaitu pada tahun 1951, 1956, 1961, 1971, 1980, 1992, 2002, dan 2011
1.    Tampaknya masih bertumpu pada mata pelajaran, belum pada system pendidikannya
2.    Dimulai dari Rencana Pelajaran 1947, 1952, 1964, Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1988, 1994, Kurikulum 1994 Suplemen 1999, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013
19
Kemunduran pendidikan
Dengan system pendidikan yang ketat menyebabkan banyak orang yang mengalami gangguan psikir. Kemudian pelaksanaannya agak longgar tetapi menyebabkan kemunduran pendidikan yang menurut para ahli di Jepang ditandai antara lain: menurunkan minat bersekolah anak-anak, dekadensi moral dan kedisiplinan yang mulai rapuh, juga prestasi belajar yang menurun
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia lebih longgar, tidak seketat Jepang, namun tanda-tanda kemunduran pendidikan di Jepang juga terjadi di Indonesia
20
Pengembangan profesionalisme guru
Dilakukan secara terus menerus, Jepang menyadari karena miskin SDA, maka pengembangan SDM termasuk guru perlu dilakukan tersu menerus
Dilakukan secara terus menerus, antara lain melalui Sertifikasi guru dan uji kompetensi guru agar memenuhi kompetensi pedagogic, kepribadian, social, dan professional.
21
Pendidikan Karakter
1.   Tercantum dalam UU dan diberikan pada setiap jenjang kelas sekolah
2.   Mampu menciptakan karakter bangsa Jepang sebagai bangsa yang ulet, pekerja keras, gigih, jujur, memiliki rasa toleransi dan kesetiakawanan yang tinggi.
3.   Diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mata pelajaran lainnya.
4.   Meliputi 14 area dengan total 76 item.
1.    Belum tercantum dalam UU dan pelaksanaannya di sekola belum jelas
2.    Dalam pembelajaran di sekolah, telah dimunculkan pendidikan karakter/nilai karakter, meliputi 18 item, yaitu: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli social, tanggung jawab (Modul PLPG Rayon 113 UNS tahun 2012, Agus Zaenal Fitri, 2012.

Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa untuk menghasilkan SDM yang berkualitas, maka perlunya komitmen dari berbagai pihak terutama pemerintah. SDM yang berkualitas harus ditunjang dengan pendidikan yang berkualitas pula. Dari system pendidikan yang diterapkan di Negara-negara maju terlihat bahwa dalam pendidikan selalu dimasukkan unsur-unsur karakter di dalamnya. Berbeda dengan system pendidikan di Indonesia yang lebih mengutamakan kognitif peserta didik. Selanjutnya pendidikan di Indonesia selalu diikuti oleh unsur-unsur politik, sehingga tujuan dari pendidikan nasional Indonesia belum tercapai. Dengan demikian, perlu kiranya kita bercermin kepada Negara-negara maju mengenai system pendidikannya agar Indonesia dapat menghasilkan SDM yang berkualitas.  


BAB 4 
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1)   Kurikulum di Jepang memiliki karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
2)   Tujuan kurikuler dari negara Jepang dalam pendidikan matematika yaitu berusaha untuk memberikan para peserta didik dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka  untuk berpikir secara logis dan kreatif menggunakan masalah matematika yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata.
3)   Matematika Jepang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mencoba menyelesaikan masalah dengan pola pikir sendiri.
4)   Inti pengajaran matematika di jepang adalah membentuk pola pikir para peserta didiknya. Pendekatan yang sering dipakai adalah open ended, problem solving dan discovery.
4.2  Saran
Dengan system pendidikan di Jepang, maka perlu kiranya Negara Indonesia sebagai Negara berkembang mengadopsi system pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dari Jepang.

DAFTAR PUSTAKA
Brady, Laurie, & Kennedy, Kerry. 2007. Curriculum Construction. Frenchs Forest, NSW: Pearson, Prentice Hall.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 tentang SI dan SKL. Jakarta: Sinar Grafika.
Dimyati dan Mudijono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muliyardi. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Menggunakan Komik di Kelas I SD (Disertasi Tidak Diterbitkan). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Program Studi Pendidikan Matematika.
Mulyono, Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Orintein, Allan C & Hunkins Francis P. 2013. Curriculum Foundation, Principles and Issues. Englewood Cliffs N.J.: Prentice Hall.
Ramli, Murni. 2009. Konsep Pembahasan Kurikulum di Jepang. http://indosdm.com. Diakses tanggal 10 April 2015.
Rivai dan Murni. 2009. Educational Management Analisis Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.
Zais, Robert S. 1976. Curriculum: Principles and Foundations. New York: Thomas Y.   Crowell, Harper & Row Publishers

1 komentar:

  1. Best bets for soccer today - Sports Toto
    Today, we're febcasino.com going to https://septcasino.com/review/merit-casino/ tell ventureberg.com/ you a 토토사이트 few key to checking into soccer betting apps. of the most popular soccer betting options and which ones will gri-go.com

    BalasHapus